AL BASHIR
[ Maha Melihat]
Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS
Demikian pentingnya
memelihara anak sejak dalam kandungan, ketika menyusukan, menyapih hingga
mendidiknya. Allah perhatikan perkembangannya melalui didikan orangtua, hanya
orangtua yang bertaqwa yang mampu melakukan pendidikan yang digambarkan Allah,
hingga biaya menyusukan sang anakpun berada dalam tanggungjawab ayahnya,
apalagi kelak setelah masuk usia sekolah, memasuki masa remaja dan masa
menikah, orangtua harus memperhatikan seluruh perkembangan dan kebutuhan
anaknya, dengan indahnya Allah menyebutkan tanggungjawab itu pada ayat di bawah
ini, yang dikuatkan dengan kalimat bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan;
”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan” [Al Baqarah
2;233]
Al Bashir, Allah Maha Melihat, Dia melihat
semua apa yang dikerjakan oleh makhluk-Nya hingga berada dalam tempat yang
sunyi dan gelappun tidak luput, semuanya dalam penglihatan Allah,bahkan kelak
segala amal-amal yang kita lakukan di dunia ini akan dihisab, akan diperiksa
dan akan dinilai oleh Allah sesuai dengan hasil penglihatan-Nya, kita mengira
ibadah dan amal kita banyak tapi semuanya itu ibarat fatamorgana.
Dari ibadah yang dilakukan seorang hamba, akan mendapat pahala dari Allah dan diukur
sebagai ibadah bila niatnya ikhlas hanya semata-mata termotivasi untuk
beribadah kepada Allah saja. Tidak dipaksa dan tidak terpaksa oleh siapapun.
Bukan karena atasan, bukan karena mertua dan tetangga;
,”Tidak
Aku perintahkan mereka beribadah kepada Allah selain mengikhlaskan amal-amal
itu dalam agama ini” [Al
Baiyyinah 98;5].
Kegiatan hamba akan bernilai pahala bila aktivitas
itu mengacu kepada tuntunan yang ditunjukkan oleh sistim yang diturunkan Allah
dan Rasul-Nya, ”Ittibaur rasul” tidak melaksanakan ibadah tanpa aturannya,”Barangsiapa yang beribadah tidak sesuai
dengan apa yang kami ajarkan maka tertolak”[hadits], inilah yang disebut
dengan bid’ah, yaitu mengada-adakan ibadah yang
tidak diajarkan oleh Rasul. Kerja kita akan bernilai pahala bila tujuannya
tiada lain mencari ridha Allah. Bila sandaran ibadah mencari ridha yang lain
maka akan bernilai nihil ”Barangsiapa
mencari pahala akhirat maka dia akan mendapatkan dunia, barangsiapa yang
semata-mata mencari dunia maka dia tidak akan mendapatkan pahala akherat”
[Al Ghazali].
Seorang musafir sudah dua hari dia menyusuri
padang pasir dalam melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Rasa lapar bisa dia tahan tapi dikala haus
sulit sekali mengendalikannya. Diantara kelelahannya itu dari kejauhan nampak
olehnya sebuah oase yang penuh berisi air sehingga meningkatkan kembali
semangat juangnya untuk melakukan perjalanan. Penuh harap terbersit di hatinya
agar cepat sampai di lembah yang berair itu, tapi rasa takut dan khawatirpun
hinggap di hatinya seandainya dia tidak mampu melanjutkan perjalanan. Dia
usahakan sekuat tenaga dan kemampuannya, tempat dimaksud sudah dekat, tanda
lokasi serumpun batang kurma jadi pedomannya. Tapi alangkah terkejutnya dikala
sampai di tempat itu, disini tidak ada ada air sedikitpun, dia mengeluh,
kesabarannya hampir lenyap.
Diantara kekecewaannya itu, dia melihat sebuah
lembah yang penuh dengan air, persis sebagaimana pemandangan yang pertama tadi,
ketika dituju, hal itu hilang dari pandangannya, itulah fatamorgana. Hanya
sebuah pemandangan menurut prasangka dan imajinasi seseorang tapi realitanya
tidak ada.
Syekh Atha'
as-Silmi dikenal sebagai guru mengaji yang tulus. Selain itu, ia juga dikenal
sebagai seorang yang pandai menenun pakaian. Sekali dalam seminggu, ia membawa
hasil tenunannya ke pasar untuk dijual. Syekh Atha' as-Silmi sangat yakin bahwa
tenunannya sangat apik dan tak ada cacat.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar, kalimat tasbih dan tahmid mengiringi hembusan-hembusan napasnya.Tiba-tiba, ada seseorang yang mendekat dan melihat-lihat pakaian tenunannya.Orang tersebut adalah seorang penjahit.Kemudian, orang itu berkata, "Baju ini cukup bagus.Namun sayang, ada cacatnya, ini, ini, dan ini."
Dengan tanpa kata, Syekh Atha' menyahut pakaiannya dari tangan orang itu.Kemudian, dia duduk dan menangis terisak-isak.Orang itu bingung melihat Syekh Atha' menangis. Namun, penyesalan tampak di wajahnya atas apa yang diucapkan. Dia meminta maaf bila ucapan tadi melukai hati.Dan, dia mau membeli tenunan itu berapa pun harganya.
Kemudian, Syekh Atha' berkata, "Sebab yang menyebabkan aku menangis bukan seperti yang kamu kira.Aku telah bersungguh-sungguh menenun baju ini.Tenunan baju ini tidak seperti baju-baju lain yang telah aku buat.Aku membuatnya lebih halus, lalu kemudian aku tambahkan keindahan di dalamnya.Setelah itu, aku periksa dengan amat teliti untuk memastikan tidak ada cacat di dalamnya.
Tapi, ketika hasil tenunanku ini diperiksa oleh manusia, terlihat ada cacat di bagian yang mana aku tidak menyadarinya.Lalu, bagaimana nanti dengan amal-amal perbuatan kita tatkala diperiksa oleh Allah, Zat yang Maha Tahu di Hari Kiamat nanti?Berapa banyak cacat dan dosa yang akan tampak dari amal ibadah kita, dan itu yang tidak kita sadari!"
Kisah di atas menggambarkan bahwa orang yang bertakwa, sangat sensitif dalam keimanan.Apa yang terjadi di hadapannya langsung mengetuk hatinya untuk ingat terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka sangat takut akan segala kekurangan ibadah kepada Allah. Mereka sangat sedih bila amal ibadah yang dikerjakannya selama ini terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan.Hal itu, dapat menyebabkan berkurangnya pahala atau bahkan tertolaknya amalan yang dikerjakan.Jika itu terjadi, niscaya sia-sialah amal ibadahnya.[Republika.co.id.Red:Budi RaharjoRep:Oleh Muhtadi Kadi, Mata Hati yang Tajam,Rabu, 29 September 2010, 09:20 WIB]
Allah
Maha Melihat, tidak satupun perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya yang lepas
dari pandangan-Nya, hal ini sebenarnya sudah difahami oleh anak-anak remaja
muslim, mereka yakin benar kalau Allah itu Maha Melihat sehingga aktivitas yang
dilarang oleh Allah tidak akan terjadi walaupun tidak dilihat oleh orang lain, tapi
Allah pasti melihatnya.
Satu
ketika Imam Syafi’i yunior sedang mengikuti pendidikan pada sebuah pesantren, seorang
guru menyuruh agar besok pagi semua murid membawa seekor ayam dan sebilah
pisau, rata-rata para murid menduga bahwa besok pelajaran menyembelih
ayam.Setelah semuanya hadir dengan peralatan yang dibutuhkan yaitu seekor ayam
dan sebilah pisau, mulailah praktek menyembelih dilakukan. Semua murid
diperintahkan untuk pergi mencari tempat yang lengang, tidak ada orang
disekitarnya, jangan ada yang melihat apa yang mereka lakukan. Dalam waktu yang
ditentukan semua murid berkumpul melaporkan hasil kerjanya.
Syafi’i,
tidak melakukan apa yang diinstruksikan gurunya, semua mata tertuju kepadanya
karena tidak melakukan tugas dengan baik, ketika di tanya oleh sang guru, dia
menjawab,”Bagaimana saya akan melakukan praktek penyembelihan ayam, karena
setiap saya cari tempat yang aman dan lengang disitu pasti ada yang melihat,
Allah Melihat dimanapun dan apapun yang kita lakukan, sehingga saya urungkan untuk
menyembelih ayam ini”.
Dengan
jawaban Syafi’i demikian, akhirnya sang guru memberikan pujian kepadanya dan
benar bahwa pada pagi ini bukanlah praktek menyembelih ayam tapi pelajaran
aplikasi aqidah tauhid yaitu Allah Maha
Melihat. Sebuah keyakinan yang tidak mudah
tumbuh pada hati seseorang bila nilai-nilai Ilahi tidak masuk ke dalam
hatinya, betapa banyak manusia yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Melihat,
tapi pekerjaan yang tidak baik dilakukan juga.
Penglihatan
yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya agar digunakan untuk hal-hal yang
diperkenankan-Nya, bahkan lebih dari itu agar kita juga melihat diri kita
sendiri melalui penampilan fisik yang setiap waktu mengalami perubahan yang
tidak kita inginkan, cara melihat diri sendiri juga bisa dilakukan dengan
bercermin
Bercermin
adalah kegiatan yang sederhana.Setiap orang bisa melakukannya kapan dan di mana
pun berada.Karena bercermin berarti melihat diri sediri melalui cermin.Namun,
kegiatan yang sederhana ini memiliki manfaat yang luar biasa. Dengan becermin,
kita akan tahu apa yang kurang dari penampilan kita. Tapi, pernahkah hati kita
becermin?Kita lebih mengutamakan merapikan pakaian, menyisir rambut, make-up,
dan lain sebagainya.Tapi, pernahkah kita merapikan sikap ikhlas kita, amal kita,
dan penampilan batin kita?
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Hasyr [59]: 18).
Umar bin Khattab mengatakan, “Hasibu anfusakum qobla antuhasabu.“(Evaluasilah (hisablah) dirimu sendiri sebelum kalian dihisab (di hadapan Allah kelak)”.Perkataan Umar tersebut mengajarkan kepada kita untuk terus mengintrospeksi diri, menghitung-hitung amalan kita apakah amal baik melebihi amal jelek kita?Atau malah sebaliknya.
Jika hari ini kita mengalami kegagalan, segeralah introspeksi diri.Barang kali ada langkah-langkah kita yang kurang sempurna.Jika hari ini kita mengalami kerugian, segeralah introspeksi diri.Barang kali ada usaha kita yang terlewat.Jika hari ini kita mengalami penurunan prestasi, segerah introspeksi diri.Barang kali ada waktu luang kita yang terabaikan.Jika hari ini kita mengalami keretakan hubungan, segeralah introspeksi diri.Barang kali ada hak-hak saudara kita yang belum ditunaikan.Jika hari ini kita mempunyai masalah apapun, segeralah introspeksi.
Perhatikanlah terus penampilan batin kita sebagaimana kita memperhatikan penampilan luar kita.Sebaik-baiknya manusia, adalah yang menyiapkan bekal terbaik sebelum menghadap Tuhan-Nya.[Republika OnLine, Deden Zaenal Muttaqien,Mari Bercermin,Rabu, 05 Januari 2011, 14:57 WIB]
. Allah
Maha Melihat, dia berikan penglihatan kepada hamba-Nya, agar penglihatan itu
untuk melihat dan memandang yang dibenarkan oleh agama, dengan pandangan itu
akan membuat iman semakin kokoh dan amal semakin terpacu untuk bertambah,
jauhkanlah penglihatan atau pandangan yang membuat kita jauh dari nilai-nilai
agama, maka kerugian akan diperoleh.
Kalau melihat dunia jangan sekali-kali
melihat ke atas. Akan capek kita jadinya, karena rizki yang telah menjadi hak
kita tidak akan kita dapatkan. Lebih baik lihatlah ke bawah.Tengoklah orang
yang lebih fakir dan lebih menderita daripada kita.Lihatlah orang yang jauh
lebih sederhana hidupnya. Semakin sering melihat ke bawah, subhanallah, hati
ini akan semakin dipenuhi oleh rasa syukur dibanding dengan orang yang suka
menengadah ke atas.
Kalaupun kita akan melihat ke atas, tancapkan pandangan kita ke yang Mahaatas
sekaligus, yakni kepada Zat Penguasa alam semesta. Allahu Akbar! Lihatlah
Kemahakuasaan-Nya, Allah Mahakaya dan tidak pernah berkurang kekayaan-Nya
walaupun selalu kita minta sampai akhir hayat. Orang yang hanya melihat ke atas
dalam urusan dunia, hatinya akan cepat kotor dan hancur. Sebaliknya, kalau
tunduk dalam melihat dunia dan tengadah dalam melihat keagungan serta kebesaran
Allah, maka tidak bisa tidak kita akan menjadi orang yang memiliki hati bersih
yang selamat.
Buya Hamka (alm) pernah berkata, "Mengapa manusia bersikap bodoh?Tidakkah
engkau tatap langit yang biru dengan awan yang berarak seputih kapas? Atau
engkau turuni ke lembah sehingga akan kau dapatkan air yang bening. Atau engkau
bangun di malam hari, kau saksikan bintang gemintang bertaburan di langit biru dan
rembulan yang tidak pernah bosan orang menatapnya.Atau engkau dengarkan suara
jangkrik dan katak saling bersahutan. Sekiranya seseorang amat gemar memandang
keindahan, amat senang mendengar keindahan, niscaya hatinya akan terbebas dari
perbuatan keji. Karena sesungguhnya keji itu buruk, sedangkan yang buruk itu
tidak akan pernah bersatu dengan keindahan."
Berbahagialah orang yang senang melihat kebaikan orang lain. Tatkala
mendapatkan seseorang tidak baik kelakuannya, ia segera mahfum bahwa manusia
itu bukanlah malaikat. Di balik segala kekurangan yang dimilikinya pasti ada
kebaikannya. Perhatikanlah kebaikannya itu sehingga akan tumbuh rasa kasih
sayang di hati. Mendengar seseorang selalu berbicara buruk dan menyakitkan,
segera mahfum. Siapa tahu sekarang ia berbicara buruk, namun besok lusa berubah
menjadi berbicara baik. Karenanya, dengan mendengarkan kata-kata yang
baik-baiknya saja, niscaya akan tumbuh rasa kasih sayang di hati.
Jalaluddin Rumi pernah berkata, "Orang yang begitu senang dan nikmat
melihat dan menyebut-nyebut kebaikan orang lain bagaikan hidup di sebuah taman
yang indah. Ke sini anggrek, ke sana melati. Pokoknya kemana saja mata
memandang yang nampak adalah bebungaan yang indah dan harum mewangi.Dimana-mana
yang terlihat hanya keindahan.Sebaliknya, orang yang gemar melihat aib dan
kejelekkan orang lain, pikirannya hanya diselimuti dengan aneka keburukan
sementara hatinya hanya dikepung dengan prasangka-prasangka buruk.Karenanya,
kemana pun matanya melihat, yang tampak adalah ular, kalajengking, duri, dan
sebagainya.Dimana saja ia berada senantiasa tidak akan pernah dapat menikmati
indahnya hidup ini."[Manajemen Qalbu Menjaga Pandangan, Aa Gym]
Ya Ilahi, Yang Maha Melihat,
jadikanlah hamba ini, yang selalu menggunakan penglihatan untuk hal-hal yang
baik, yang Engkau ridhai, jauhkanlah dari hamba segala hal yang buruk,
ampunilah hamba ya Allah dari segala penglihatan dan pandangan yang salah dan
keliru. Bimbingan-Mu yang membuat hamba ini selalu menempatkan penglihatan
sesuai dengan yang Engkau kehendaki.Wallahu a’lam [Cubadak Solok, 08 Jumadil
Awal 1432.H/ 12 April 2011.M, Jam 09;35].
Sumber;
1.Al
Manhaj or.id
2.Al
Qur'an dan terjemahannya, Depag RI 1994/1995
3.Kumpulan
Ceramah Praktis, Drs. Mukhlis Denros, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar