Kamis, 11 Juni 2015

82. Al Majiid, Yang Dipuja



AL MAJIID
[ Yang Dipuja]
Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS


            Yang layak dipuja dalam hidup ini hanya Allah semata karena Dialah yang mememiliki semuanya, sedangkan yang dimiliki manusia hanyalah titipan dari Allah saja. Allah bersifat Al Majiid, artinya Yang Dipuja;
”Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."[Huud 11;73].

Orang yang selalu menempatkan pemujaan hanya kepada Allah berarti tidak ada yang menjadi pujaannya karena sebagaibukti iman pada seseorang harus nampak pada nilai-nilai yang diperjuangkannyayaitu nilai tauhid, salah satu ujud tauhid itu adalah celupan Ilahiyah sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah 2;138
“ Shibghah Allah. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan Hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”

Orang yang telah tershibghah oleh nilai-nilai Ilahiyah maka ucapan bibir dan aplikasi amal sehari-hari menjadikan .Allah Ghayatuna, Allah sebagai Tujuan kami; artinya orang yang  telah tercelup oleh nilai-nilai Ilahi menjadikan seluruh kerjanya adalah untuk Allah semata-mata, yaitu mencari ridha Allah sehingga nampak jelas misi apa yang dibawa dalam setiap aktivitas tiada lain menegakkan kalimat-Nya [Al Baiyinah 98;5]
” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Ketika seseorang beriman kepada Allah maka Allahlah yang dia puja melalui lisannya dengan ucapan ”Alhamdulillah”, bukan itu saja tapu menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah;

"Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam" [Al An'am 6;162].

Bahkan  semua amal yang nampak ataupun yang tersembunyi menjadi perhitungan Allah, tidak bisa manusia menipu Allah, semuanya tidak luput dari pengawasan-Nya. Segala pemujaan yang dilakukan dengan lisan atau dengan amal haruslah tulus dan terfokus hanya kepada Allah, tidak boleh kepada yang lain, bila terjadi maka itulah namanya penyelewengan atau syirik.
"Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu" [Al Baqarah 2;284]

            Pada surat Al Fatihah ada dua kelompok ayat, kelompok pertama menggambarkan pujaan atas kebesaran yang dimiliki Allah, dengan segala puji-pujiannya, Yang Maha Pemurah dan Penyayang, Tuhan semesta alam yang disembah dan tempat minta pertolongan, sedangkan kelompok keduanya adalah kepentingan hamba yang ditujukan kepada Allah;
”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Yang menguasai di hari Pembalasan. hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”[Al Fatihah 1;1-5]

Demikian agungnya Allah, dan memang layak untuk dipuji  oleh sekalian makhluk, yaitu pujian yang diujudkan dengan loyalitas dan pengabdian. Alhamdu (segala puji), memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
” Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. ”[Al Fatihah 1;6-7]

Allah Al Majiid, Yang dipuja, pemujaan kepada manusia lainnya dalam rangka interaksi sosial tidak jadi masalah, selama tetap meletakkan eksistensi Allah di atas segala-galanya.

Salah satu sifat manusia yaitu senang  dipuji oleh orang lain atas usaha yang telah dilakukan atau sanjungan terhadap apa yang ada pada dirinya, bisa saja berbentuk kecantikan atau jabatan dan harta yang dimilikinya.

            Pujian atau sanjungan pada satu sisi memang diperlukan sebagai sarana menghargai kerja keras seseorang sekaligus memotivasi dalam bergerak dan menjaga hubungan yang harmonis, seperti seseorang pimpinan memberi penghargaan kepada bawahannya dengan ucapan kebanggaan walaupun karya itu masih harus diperbaiki, ”Bagus sekali hasil kerja anda, tapi harus dibenahi lagi agar lebih baik”, seorang guru atau orangtua harus memberi penilaian kepada kerja murid/ anaknya dengan kalimat memperhatikan, ”Nilai enam cukup bagus, tapi kamu harus menaikan nilai ini tahun depan”.

            Dari segi agama pujian dan sanjungan sangat berbahaya atas diri seseorang yang dipuji yaitu;

            Pertama, pujian dan sanjungan itu akan menyebabkan seseorang lalai untuk mengoreksi dirinya, menjadikan lemah daya mawas diri bahkan mengakibatkan timbul rasa sombong dan angkuh serta kebanggaan terhadap dirinya, yang kesemuanya itu termasuk moral yang tercela, Rasulullah bersabda,”Hamburkanlah tanah pada muka orang-orang yang memuji itu”. 

            Kedua, apabila dipuji kebaikan dan keshalehannya, maka pasti menjadi senang tapi akan melemahkan kesungguhannya untuk beramal dan berbakti, bahkan dapat menghilangkan keikhlasannya, padahal beragama tanpa keikhlasan itu tidak ada artinya. Allah berfirman dalam surat al Baiyinah; 5, ”Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya”.

            Syekh Musthafa Al Ghalayani berkomentar tentang orang-orang yang mabuk pujian; Seringkali kami melihat keadaan pribadi masing-masing manusia itu apabila mendapatkan pujian dan ancaman. Namun bagian terbesar dari para manusia itu jikalau tampak sekali kegembiraan hatinya, sekalipun isi pujian itu benarnya berupa suatu kebathilan yang nyata. Demikian pulalah bagian terbesar dari mereka itu jikalau dikecam atau dicela jelas sekali kemurungan atau ketidak senangan hatinya, sekalipun isi kecaman serta apa yang  dikecamkan kepadanya betul-betul berupa suatu kebenaran yang nyata dan dapat dibuktikan.

            Orang yang mengharapkan pujian orang lain atas amal yang dilakukan berarti dia berbuat tidak ikhlas atau niatnya tidak murni karena Allah tetapi karena riya’. Mengenai ukuran riya’, pernah dirumuskan oleh seorang ulama terkemuka bernama Fudhail bin Iyad sebagai berikut, ”Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik, dan yang dinamakan iskhlas ialah mudah-mudahan Allah melepaskan kita dari kedua sifat tersebut”.

            Maksud ucapan tersebut ialah, bahwa barangsiapa yang berniat hendak mengerjakan sesuatu ibadah kemudian ditinggalkannya [dibatalkan] karena takut dilihat manusia, maka dia telah berbuat riya’, sebab ditinggalkannya itu karena manusia, adapun kalau ditinggalkannya itu  dengan maksud untuk dikerjakan di tempat sepi, maka perbuatannya itu terpuji. Dalam hal ini dikecualikan mengenai amal fardhu seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain.

            Tidak termasuk kategori riya’ bila mengerjakan sesuatu amal secara terang-terangan, dilihat oleh manusia jika niatnya supaya  dicontoh orang, Rasululah bersabda, ”Orang yang beramal itu mendapat dua pahala, yaitu pahala karena sembunyi-sembunyi dan pahala karena terbuka [terang-terangan]”.

            Orang yang mudah larut dengan pujian dari segi Islam berarti hatinya sudah rusak, dihinggapi penyakit riya’ dan bayangan kehebatan pribadi, akhirnya tidak akan berbuat kalau tidak menerima pujian. Kelak di Padang Mashar akan di hadapkan oleh Allah tiga golongan besar manusia yaitu Pahlawan, Ilmuwan dan Dermawan. Ketiga golongan ini tidak berharga di hadapan Allah karena pahlawan melakukan perjuangan agar disebut sebagai pahlawan, mendapat penghargaan serupa bintang jasa serta dimakamkan di makam pahlawan.

            Sedangkan ilmuwan habis waktunya untuk mengajar dan belajar karena ingin disebut orang cerdik pandai, ulama, cendekiawan dan julukan-julukan lain, demikian pula hartawan habis dananya untuk membangun masjid, mushalla, membantu fakir miskin, menyelamatkan ummat dari kesengsaraan agar mendapat nama dengan sebutan  sebagai sang dermawan. Ketiga kelompok ini bukan dimasukkan ke syurga tapi dijerumuskan ke jahanam karena dia berbuat mengharapkan pujian manusia, sanjungan, popularitas dan tepukan.

            Salah satu identitas seorang masuk Islam yaitu mengucapkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah”  selain berarti ”Tidak ada Tuhan selain Allah” juga bermakna, ”Tidak ada yang layak menerima sanjungan dan pujian kecuali Allah”. Kalau seorang muslim larut oleh pujian manusia berarti dia telah keluar dari persaksian padahal dia mengetahui bahwa setiap shalat selalu membaca Al Fatihah yang intinya memuji Allah, ”Segenap puja dan puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta”.

            Vitamin suatu sanjungan penting dalam rangka menggairahkan kerja dan meningkatkan motivasi kita dalam berbuat dan beramal, tapi jangan larut dengan pujian, karena dapat melenakan seseorang dan mengantarkannya kepada kerusakan pribadi, amalnya tidak mendapat pahala, sombongnya semakin menjadi, hidupnyapun habis begitu saja.

Dengan lidah manusia dapat terlena, melambung tinggi ke angkasa karena dapat pujian dari orang lain, entah pujian itu baik atau tidak, pujian kadangkala dipakai untuk membius seseorang dengan maksud-maksud tertentu.

            Pujian itu sebenarnya adalah bagaikan racun yang dihembuskan oleh sipemuji dalam lubang hidung manusia yang dipuji. Itulah perasaan tertiup pada diri sendiri yang dimasukkan dalam jiwanya. Manakala pemuji itu betul-betul ahli dalam bidangnya maka sama halnya dengan syaitan yang memasukkkan rasa kebersamaan dan kecongkakan melalui ubun-ubunnya sehingga yang terpuji itu amat terlena sekali dan sama sekali tidak sadar bahwa yang sedang dihadapinya itulah syaitan yang menjelmakan diri sebagai manusia.

            Pujian disamping berbahaya bagi yang dipuji juga banyak asfek negatif yang akan didapai oleh pemuji sendiri diantaranya;

            Pertama, kesenangan memuji itu, terkadang sampai kepada batas yang berlebihan, sehingga sulit terpelihara dari kata dusta, lebih-lebih bila yang dipuji itu sebenarnya orang yang suka melanggar hukum Allah, yang dalam istilah agama disebut orang fasiq.

            Kedua, berlebih-lebihan dalam pujian dan sanjungan itu, selalu disertai sifat pamer yang dalam istilah agama disebut riya’, padahal riya’ itu termasuk diantara bentuk syirik secara halus.

            Allah Al Majiid, Yang Dipuja, memang Dialah tempat kembali segala puja dan puji, milik Dialah segala sesuatu di dunia dan akherat, Dia mengusai segalanya, pujian kepada manusia sebenarnya pujian kepada Yang Maha Pencipta karena manusia adalah makhluk yang tidak mampu berbuat lebih banyak, manusia adalah makhluk yang sangat terbatas, tapi Allah adalah segala-galanya;
”Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.” [Saba’ 34;1-2].

                Allah, Engkaulah yang menguasai seluruh langit dan bumi, dunia dan akherat berada dalam kekuasaan-Mu, tiada daya dan upaya yang kami miliki selain dari pemberian-Mu, ampunilah hamba ini ya Allah andaikata selalu terlambat memuji dan menyanjung atas karunia dan rahmat yang Engkau berikan.

Al Majiid, Allah yang dipuja, pujian kepada manusia hanyalah sebatas memberi motivasi,  tidak lebih dari itu ya Allah, bukan pujian yang membuat rusaknya aqidah dan ibadah, bahkan seharusnya dikala manusia mendapat pujian dari manusia lainnya, sebelum mengucapkan ”Terima kasih” mereka harus mengucapkan ”Alhamdulillah”, segenap puji hanya milik Allah. Wallahu a’lam [CubadakSolok, 23 JumadilAwal 1432.H/ 27 April 2011.M, Jam 14;40].

Referensi;
1.KuliahTafsir, Faktar IAIN RadenIntan Lampung, 1989
2.Al Qur'an danTerjemahannya, Depag RI, 1994/1995
3.KumpulanCeramahPraktis, Drs.MukhlisDenros, 2009
4.Tabloid Solinda Solok, Edisi 21/ September 2002.    


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar