AL MAJIID
[ Yang Dipuja]
Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS
Yang
layak dipuja dalam hidup ini hanya Allah semata karena Dialah yang mememiliki
semuanya, sedangkan yang dimiliki manusia hanyalah titipan dari Allah saja.
Allah bersifat Al Majiid, artinya Yang Dipuja;
”Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya,
dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah."[Huud
11;73].
Orang yang selalu menempatkan pemujaan hanya
kepada Allah berarti tidak ada yang menjadi pujaannya karena sebagaibukti iman pada seseorang harus nampak pada nilai-nilai
yang diperjuangkannyayaitu nilai tauhid, salah satu ujud tauhid itu adalah celupan
Ilahiyah sebagaimana firman
Allah dalam surat Al Baqarah 2;138
“
Shibghah Allah. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan
Hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”
Orang yang telah tershibghah oleh nilai-nilai
Ilahiyah maka ucapan bibir dan aplikasi amal sehari-hari menjadikan .Allah Ghayatuna, Allah sebagai Tujuan
kami; artinya orang yang telah tercelup
oleh nilai-nilai Ilahi menjadikan seluruh kerjanya adalah untuk Allah
semata-mata, yaitu mencari ridha Allah sehingga nampak jelas misi apa yang
dibawa dalam setiap aktivitas tiada lain menegakkan kalimat-Nya [Al Baiyinah
98;5]
”
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.
Ketika seseorang beriman kepada Allah maka
Allahlah yang dia puja melalui lisannya dengan ucapan ”Alhamdulillah”, bukan
itu saja tapu menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah;
"Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam" [Al An'am 6;162].
Bahkan
semua amal yang nampak ataupun yang tersembunyi menjadi perhitungan
Allah, tidak bisa manusia menipu Allah, semuanya tidak luput dari
pengawasan-Nya. Segala pemujaan yang dilakukan dengan lisan atau dengan amal
haruslah tulus dan terfokus hanya kepada Allah, tidak boleh kepada yang lain,
bila terjadi maka itulah namanya penyelewengan atau syirik.
"Kepunyaan Allah-lah segala apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada
di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu" [Al Baqarah 2;284]
Pada
surat Al Fatihah ada dua kelompok ayat, kelompok pertama menggambarkan pujaan
atas kebesaran yang dimiliki Allah, dengan segala puji-pujiannya, Yang Maha
Pemurah dan Penyayang, Tuhan semesta alam yang disembah dan tempat minta
pertolongan, sedangkan kelompok keduanya adalah kepentingan hamba yang
ditujukan kepada Allah;
”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang Yang menguasai di hari Pembalasan. hanya Engkaulah yang Kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”[Al Fatihah 1;1-5]
Demikian agungnya Allah, dan memang layak untuk
dipuji oleh sekalian makhluk, yaitu pujian
yang diujudkan dengan loyalitas dan pengabdian. Alhamdu (segala puji), memuji
orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang
baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang
terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah
ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
” Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. ”[Al Fatihah 1;6-7]
Allah Al Majiid, Yang dipuja, pemujaan kepada
manusia lainnya dalam rangka interaksi sosial tidak jadi masalah, selama tetap
meletakkan eksistensi Allah di atas segala-galanya.
Salah satu sifat
manusia yaitu senang dipuji oleh orang
lain atas usaha yang telah dilakukan atau sanjungan terhadap apa yang ada pada
dirinya, bisa saja berbentuk kecantikan atau jabatan dan harta yang
dimilikinya.
Pujian atau sanjungan pada
satu sisi memang diperlukan sebagai sarana menghargai kerja keras seseorang
sekaligus memotivasi dalam bergerak dan menjaga hubungan yang harmonis, seperti
seseorang pimpinan memberi penghargaan kepada bawahannya dengan ucapan
kebanggaan walaupun karya itu masih harus diperbaiki, ”Bagus sekali hasil kerja anda, tapi harus dibenahi lagi agar lebih
baik”, seorang guru atau orangtua harus memberi penilaian kepada kerja
murid/ anaknya dengan kalimat memperhatikan,
”Nilai enam cukup bagus, tapi kamu harus menaikan nilai ini tahun depan”.
Dari segi agama pujian dan
sanjungan sangat berbahaya atas diri seseorang yang dipuji yaitu;
Pertama, pujian dan
sanjungan itu akan menyebabkan seseorang lalai untuk mengoreksi dirinya,
menjadikan lemah daya mawas diri bahkan mengakibatkan timbul rasa sombong dan
angkuh serta kebanggaan terhadap dirinya, yang kesemuanya itu termasuk moral
yang tercela, Rasulullah bersabda,”Hamburkanlah tanah pada muka orang-orang
yang memuji itu”.
Kedua, apabila dipuji
kebaikan dan keshalehannya, maka pasti menjadi senang tapi akan melemahkan
kesungguhannya untuk beramal dan berbakti, bahkan dapat menghilangkan
keikhlasannya, padahal beragama tanpa keikhlasan itu tidak ada artinya. Allah
berfirman dalam surat al Baiyinah; 5, ”Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk
menyembah Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya”.
Syekh Musthafa Al
Ghalayani berkomentar tentang orang-orang yang mabuk pujian; Seringkali kami
melihat keadaan pribadi masing-masing manusia itu apabila mendapatkan pujian
dan ancaman. Namun bagian terbesar dari para manusia itu jikalau tampak sekali
kegembiraan hatinya, sekalipun isi pujian itu benarnya berupa suatu kebathilan
yang nyata. Demikian pulalah bagian terbesar dari mereka itu jikalau dikecam
atau dicela jelas sekali kemurungan atau ketidak senangan hatinya, sekalipun
isi kecaman serta apa yang dikecamkan
kepadanya betul-betul berupa suatu kebenaran yang nyata dan dapat dibuktikan.
Orang yang mengharapkan
pujian orang lain atas amal yang dilakukan berarti dia berbuat tidak ikhlas
atau niatnya tidak murni karena Allah tetapi karena riya’. Mengenai ukuran
riya’, pernah dirumuskan oleh seorang ulama terkemuka bernama Fudhail bin Iyad
sebagai berikut, ”Meninggalkan amal
karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia adalah syirik, dan yang
dinamakan iskhlas ialah mudah-mudahan Allah melepaskan kita dari kedua sifat
tersebut”.
Maksud ucapan tersebut
ialah, bahwa barangsiapa yang berniat hendak mengerjakan sesuatu ibadah
kemudian ditinggalkannya [dibatalkan] karena takut dilihat manusia, maka dia
telah berbuat riya’, sebab ditinggalkannya itu karena manusia, adapun kalau
ditinggalkannya itu dengan maksud untuk
dikerjakan di tempat sepi, maka perbuatannya itu terpuji. Dalam hal ini
dikecualikan mengenai amal fardhu seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain.
Tidak termasuk kategori
riya’ bila mengerjakan sesuatu amal secara terang-terangan, dilihat oleh
manusia jika niatnya supaya dicontoh
orang, Rasululah bersabda, ”Orang yang
beramal itu mendapat dua pahala, yaitu pahala karena sembunyi-sembunyi dan
pahala karena terbuka [terang-terangan]”.
Orang yang mudah larut
dengan pujian dari segi Islam berarti hatinya sudah rusak, dihinggapi penyakit
riya’ dan bayangan kehebatan pribadi, akhirnya tidak akan berbuat kalau tidak
menerima pujian. Kelak di Padang Mashar akan di hadapkan oleh Allah tiga
golongan besar manusia yaitu Pahlawan, Ilmuwan dan Dermawan. Ketiga golongan
ini tidak berharga di hadapan Allah karena pahlawan melakukan perjuangan agar
disebut sebagai pahlawan, mendapat penghargaan serupa bintang jasa serta
dimakamkan di makam pahlawan.
Sedangkan ilmuwan habis
waktunya untuk mengajar dan belajar karena ingin disebut orang cerdik pandai,
ulama, cendekiawan dan julukan-julukan lain, demikian pula hartawan habis
dananya untuk membangun masjid, mushalla, membantu fakir miskin, menyelamatkan
ummat dari kesengsaraan agar mendapat nama dengan sebutan sebagai sang dermawan. Ketiga kelompok ini
bukan dimasukkan ke syurga tapi dijerumuskan ke jahanam karena dia berbuat
mengharapkan pujian manusia, sanjungan, popularitas dan tepukan.
Salah satu identitas seorang
masuk Islam yaitu mengucapkan kalimat ”Laa Ilaaha Illallah” selain berarti ”Tidak ada Tuhan selain Allah”
juga bermakna, ”Tidak ada yang layak menerima sanjungan dan pujian kecuali
Allah”. Kalau seorang muslim larut oleh pujian manusia berarti dia telah keluar
dari persaksian padahal dia mengetahui bahwa setiap shalat selalu membaca Al
Fatihah yang intinya memuji Allah, ”Segenap
puja dan puji milik Allah, Tuhan penguasa alam semesta”.
Vitamin suatu sanjungan
penting dalam rangka menggairahkan kerja dan meningkatkan motivasi kita dalam
berbuat dan beramal, tapi jangan larut dengan pujian, karena dapat melenakan
seseorang dan mengantarkannya kepada kerusakan pribadi, amalnya tidak mendapat
pahala, sombongnya semakin menjadi, hidupnyapun habis begitu saja.
Dengan lidah manusia dapat terlena, melambung
tinggi ke angkasa karena dapat pujian dari orang lain, entah pujian itu baik
atau tidak, pujian kadangkala dipakai untuk membius seseorang dengan
maksud-maksud tertentu.
Pujian itu sebenarnya
adalah bagaikan racun yang dihembuskan oleh sipemuji dalam lubang hidung
manusia yang dipuji. Itulah perasaan tertiup pada diri sendiri yang dimasukkan
dalam jiwanya. Manakala pemuji itu betul-betul ahli dalam bidangnya maka sama
halnya dengan syaitan yang memasukkkan rasa kebersamaan dan kecongkakan melalui
ubun-ubunnya sehingga yang terpuji itu amat terlena sekali dan sama sekali
tidak sadar bahwa yang sedang dihadapinya itulah syaitan yang menjelmakan diri
sebagai manusia.
Pujian disamping berbahaya
bagi yang dipuji juga banyak asfek negatif yang akan didapai oleh pemuji
sendiri diantaranya;
Pertama, kesenangan memuji
itu, terkadang sampai kepada batas yang berlebihan, sehingga sulit terpelihara
dari kata dusta, lebih-lebih bila yang dipuji itu sebenarnya orang yang suka
melanggar hukum Allah, yang dalam istilah agama disebut orang fasiq.
Kedua, berlebih-lebihan
dalam pujian dan sanjungan itu, selalu disertai sifat pamer yang dalam istilah
agama disebut riya’, padahal riya’ itu termasuk diantara bentuk syirik secara
halus.
Allah Al Majiid, Yang
Dipuja, memang Dialah tempat kembali segala puja dan puji, milik Dialah segala
sesuatu di dunia dan akherat, Dia mengusai segalanya, pujian kepada manusia
sebenarnya pujian kepada Yang Maha Pencipta karena manusia adalah makhluk yang
tidak mampu berbuat lebih banyak, manusia adalah makhluk yang sangat terbatas,
tapi Allah adalah segala-galanya;
”Segala
puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi
Maha mengetahui.Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar
daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan
Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.” [Saba’ 34;1-2].
Allah,
Engkaulah yang menguasai seluruh langit dan bumi, dunia dan akherat berada
dalam kekuasaan-Mu, tiada daya dan upaya yang kami miliki selain dari
pemberian-Mu, ampunilah hamba ini ya Allah andaikata selalu terlambat memuji
dan menyanjung atas karunia dan rahmat yang Engkau berikan.
Al Majiid, Allah yang dipuja, pujian
kepada manusia hanyalah sebatas memberi motivasi, tidak lebih dari itu ya Allah, bukan pujian
yang membuat rusaknya aqidah dan ibadah, bahkan seharusnya dikala manusia
mendapat pujian dari manusia lainnya, sebelum mengucapkan ”Terima kasih” mereka
harus mengucapkan ”Alhamdulillah”, segenap puji hanya milik Allah. Wallahu a’lam [CubadakSolok,
23 JumadilAwal 1432.H/ 27 April 2011.M, Jam 14;40].
Referensi;
1.KuliahTafsir,
Faktar IAIN RadenIntan Lampung, 1989
2.Al
Qur'an danTerjemahannya, Depag RI, 1994/1995
3.KumpulanCeramahPraktis,
Drs.MukhlisDenros, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar