Minggu, 14 Juni 2015

57. Al Qabidh, Yang Menyempitkan




AL QABIDH
[ Yang Maha Menyempitkan]
Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS

                Manusia adalah makhluk Allah yang istimewa dibandingkan makhluk yang lain, disamping diberi akal sebagai fasilitas juga tidak sedikit sarana dihamparkan untuk mereka berupa rezeki yang terdapat di darat dan di laut, semua itu boleh digunakan, diolah untuk kebutuhan manusia. Demikian pula hubungannya dengan Allah mempunyai hubungan yang istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, ada tiga hubungan manusia dengan Allah yaitu;

            Pertama, hubungan hamba dengan Khaliqnya, yaitu sebagai pengabdian yang mencurahkan seluruh potensi hidupnya hanya untuk menyembah Allah semata;
            “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.[Adz Dzariyat 51;56]
            Bila hubungan ini berjalan dengan baik, manusia telah memposisikan dirinya dan mengoptimalkan potensinya hanya untuk ibadah kepada Allah maka manusia akan mendapat balasan yang lebih dari pengabdiannya itu dari Allah, bila pengabdian ini tidak terujud bahkan kefasikan yang terjadi maka akan menerima balasan yang setimpal dari Allah, berupa azab dan kesengsaran lainnya.

            Kedua, hubungan bisnis, yaitu hubungan antara penjual dan pembeli, Allah berperan sebagai pembelinya sedangkan manusia sebagai pedagang, sebagaimana yang tergambar dalam surat At Taubah 9;111
            “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau dibunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah ? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah  kamu lakukan itu, itulah kemenangan yang besar”

            Suatu perniagaan yang luar bisa untungnya bila manusia mau untuk mengambil peluang bisnis ini, harga syurga tidaklah dapat dibandingkan dengan segala kesenangan di dunia ini, tarif yang tinggi ditawarkan Allah kepada hamba-Nya, bila peluang bisnis ini tidak dimanfaatkan oleh manusia maka merugilah mereka selamanya.
            Ketiga, hubungan cinta; yaitu hubungan kasih sayang antara hamba dengan Khaliqnya. Hubungan ini terujud karena nilai iman yang tinggi dan pemahaman tauhid yang benar, sehingga seorang mukmin meletakkan posisi cintanya sesuai dengan prioritas [9;24], bahkan Allah menggambarkan bagaimana seorang mukmin meletakkan dasar cintanya kepada Allah selain mencintai yang lain.
            ”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).[Al Baqarah 2;165]

            Kecintaan kepada Allah akan memperoleh keuntungan yang luar biasa, yaitu berkahnya di dunia dan syurganya di akherat dengan tidak meninggalkan kecintaan kepada yang lain, kita boleh mencintai harta, jabatan, isteri, anak dan keturunan selama memposisikannya di bawah cinta kepada Allah, bila posisi cinta ini sudah salah maka mendapat julukan orang-orang yang fasiq, nerakalah tempatnya kelak di akherat.

                Keempat; hubungan Allah dengan hamba-Nya dijalin pula melalui transaksi pinjam meminjam secara simbolik, disini posisi Allah sebagai peminjam dari harta yang dimiliki hamba-Nya, pinjaman itu berujud menginfaqkan hartanya di jalan Allah dalam bentuk bantuan kepada manusia lainnya yang sangat membutuhkan;
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.’[Al Baqarah 2;245]

            Bila transaksi ini tidak terjadi, manusia tidak mau meminjamkan sesuatu miliknya untuk kepentingan agama Allah atau untuk membantu hamba Allah yang lainnya maka disinilah peran Allah sebagai Al Qabidh berlaku, yaitu Allah akan menyempitkan rezeki siapapun yang dikehendaki-Nya.

Di tengahperjalanan yang cukuppanjangdanmelelahkan, Rasulullah saw memutuskanuntukberistirahatsejenak. Ketikasemuaanggotarombonganmulaimengambiltempatuntukmelepaslelahdanmembukaperbekalan, tampakseoranglaki-laki yang sibukhilirmudikdekatbeliau.Dari ataspunggungunta yang terlihatsangatkeletihan, lelakiitumelirikkesana-kemaridenganpandanganmata yang sayu.

Rasulullah saw segeramenangkapbahasatubuhlelakiitu, makadengansuara yang bergemadanpenuhwibawa. Beliauberkatakepadaseluruhsahabatnya,  “Siapa yang punyatunggangan (kendaraan) lebih, makaberikanlahkepada orang yang tidakpunyakendaraan. Siapa yang punyaperbekalanlebih, makaberikanlahkepada orang yang tidakpunyaperbekalan.”(HR. Muslim dan Abu Dawud).

Menurut Abu Sa`id al-Khudri, sahabat yang menuturkankisahini, selainduajenisharta di atas, Rasulullahjugamenyebutbeberapajenishartalainnyayang mestidiperlakukansama.  Karenabegitubanyakjenisharta yang disebut, sempatterlintasdalambenakparasahabat, bahwaharta yang melebihibataskebutuhantidaklagimenjadihakpemiliknya, melainkanharusdiberikankepada orang yang membutuhkan.

Peristiwatersebutberlalubegitucepat, tapiajaran yang disampaikanRasulullah saw membentukpandanganhidup yang sangatmendalamtentangpersoalan yang senantiasaaktualsepanjangwaktu, yaitukemiskinandankekayaan.  Fenomenamiskindan kaya diposisikandalam Islam sebagaipasangan yang salingterkaitdantidakmungkindipisahkan, samasepertisemuawujudciptaan Allah di alamraya.

Dengandemikian, miskindan kaya adalahduaentitas yang tidakmungkinberdirisendiri.Artinya, kemiskinanakanmenjadimasalahjikakekayaan pun bermasalah. Generasiawal Islam memahamibetulhalini, baikdalamkapasitasindividumaupunpemerintah.

Bahkan, jikabolehdibilang, merekamelihatsikapdanperilakumenyimpang orang-orang kaya adalahbiangsebenarnyadarisegaladampakburuk yang timbuldarikemiskinan.Tepatnya, ketika orang kaya tidakpunyapandangan yang benartentangkonsepkekayaandantidakpernahmerasacukupkarenacarakonsumsi yang dipakainyatidaklepasdariisrafatautabdzir.Makaakibatnyaadalah, peredaranhartaterbatashanyapadasegelintir orang kaya (dulatanbainalaghniya’), sementara orang-orang miskintidakmendapatkanbagian yang cukupuntuksekedarmengisiperutnya.

Dalam as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqimenuturkanpernyataantegas Ali bin AbiThalibra, “Allah telahmewajibakankepada orang-orang kaya agar memberikanhartanyasebanyak yang dapatmencukupikebutuhan orang-orang miskin. Karenaitu, jika orang-orang miskinitukelaparan, tidakberpakaiandanmenderita, makapenyebabnyaadalah orang-orang kaya ituengganmemberi.Allah pastiakanmenghisabdanmengazabmerekakarenasikapnyaitu.”[Republika co.id.AsepSobari, MengentaskanKekayaanKamis, 30 Juli 2009 11:52]

            Sebuah pepatah mengatakan bahwa tidak akan menuai bagi orang yang tidak pernah menyemai artinya tidak ada yang dapat diharapakan dari orang yang tidak berbuat apa-apa.

            Sedangkan Rasulullah bersabda bahwa orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, baik tenaga, ilmu atau hartanya dimanfaatkan di masyarakat sehingga hidupnya berfungsi sosial.

            Diri, ilmu, harta dan apa saja yang dapat dimanfaatkan di tengah masyarakat adalah kebaikan didunia juga mendapat imbalan di akherat, kedua kepentingan ini tidak boleh dipentingkan salah satunya saja, karena keduanya perlu dan dibutuhkan manusia beriman, Rasulullah bersabda, ”Bukan sebaik-baik kamu orang yang meninggalkan dunianya untuk mengejar akheratnya dan meninggalkan akheratnya untuk mengejar dunia, sehingga memperoleh kedua-duanya sekaligus, karena sesungguhnya dunia ini merupakan alat ke akherat dan janganlah kamu menjadi beban atas orang lain”.

            Dunia adalah tempat untuk bertanam kebaikan, menambah amal ibadah serta memupuk pahala sebagai bekal menuju akherat. Memang kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara apabila dibandingkan dengan kehidupan akherat yang abadi. Namun dengan keras diingatkan agar kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan alasan untuk hidup dengan laku penuh penyesalan, jangan dijadikan penantian dengan mental yang senantiasa was-was dan was-was. Sema sekali tidak dibenarkan untuk mengartikan sebuah ungkapan bahwa dunia ini adalah ”bangkai” dan barangsiapa yang berlaku asyik dengannya sama dengan anjing dengan pengertian yang harfiah. Allah memperingatkan dalam Al Qashash 28;77 ;
”Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kehidupan abadi kampung akherat namun janganlah sekali-kali kamu melalaikan bahagianmu dari kenikmatan hidup di dunia ini...”

secara awam ayat tersebut  diartikan:

  1. Allah telah berkenan memberi anugerah yang banyak, nah terimalah dan nikmatilah anugerah itu dengan pengertian janganlah lupa diri bahwa kita bakal mati.

  1. Kehidupan yang lebih baik dan kekal adalah kehidupan di akherat. Berbuatlah untuk mencapai akherat itu dengan penuh kesungguhan namun tidak berarti manusia harus membelakangi kenyataan hidup di dunia ini.

            Dalam kesementaraan hidupnya  di dunia ini manusia harus benar-benar tahu diri, kapan harus berbuat, kapan harus menikmati hasil perbuatannya. Kapan harus bertahan dan kapan harus bergerak. Mana yang harus didahulukan dan mana yang harus ditangguhkan. Mana yang wajib dan mana yang haram, semua petunjuknya ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

            Bila ajaran ini telah tertanam akan melahirkan ummat islam yang tangguh, penuh pendirian dan siap menghadapi kehidupan dengan segala senang hati karena dibawah pimpinan Allah sebagai mana firman-Nya dalam surat Al Ankabut 29;69

”Dan orang-orang yang  berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tuntukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

            Dari ayat tersebut jelaslah bahwa kebahagiaan itu baru akan dicapai manusia, apabila mereka telah beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya kesungguhan di dalam segala bidangnya. Ummat islam atau orang-orang beriman dewasa ini, belum mencapai kebahagiaan itu karena mereka belum lagi melaksanakan ibadah dengan sebenar-benarnya kesungguhan di dalam segala bidangnya.

            Mungkin mereka sewaktu dalam masjid, sewaktu melaksanakan shalat, mereka telah sebenar-benarnya sungguh-sungguh, tetapi apabila mereka telah masuk ke dalam masyarakat atau perdagangan, mereka belum sungguh-sungguh secara islam. Mereka masih dipengaruhi oleh cara-cara komunis dan kapitalis, yang membolehkan memakai segala macam cara untuk mencapai tujuan atau supaya tidak dicap ketinggalan zaman. Bahkan ada yang berkeyakinan dan berpropaganda ajaran buatan manusia lebih ampuh atau sakti dari ajaran buatan Allah.

            Untuk itu manusia harus berpedoman kepada ajaran Allah dengan tetap membawa imannya kemanapun pergi, bukan dikatakan beriman hanya dimasjid saja lalu selepas dari itu, iman dan amalnya tidak terkontrol. Landasan amal yang akan diberi ganjaran oleh Allah yaitu hanya mengharapkan ridha Allah bukan karena yang lain, kalau landasan ini dijadikan sebagai acuan dalam berbuat maka tak satupun kebaikan yang dikeluarkan akan luput dari balasan pahala dari Allah sebagaimana dua surat dibawah ini Allah berfirman dalam surat Zalzalah 99;7-8, ;
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula”.

            Surat An Nisa’ 4;40,;
”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”.

            Selama hayat masih dikandung badan selama itu pula manusia dituntut berbuat  kebaikan dan amal shaleh, menjalin empat hubungan yang baik dengan Allah,  serta menyemai bibit agar dapat menuai buah pahalanya kelak di hadapan Allah sehingga hidupnya di dunia bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain atas usaha, kerja dan amal ibadah yang dilakukan, semua itu akan dibalas tunai oleh Allah di dunia ini sebelum balasan di akherat;
”Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan’[Ibrahim 14;31].

                Ya Al Qabidh, Allah yang menyempitkan rezeki hamba-Nya, Dia pula yang melapangkan rezeki hamba-Nya dari nikmat yang tidak diduga-duga. Engkau berhak dan kuasa menentukan nasib makhluk-Mu, ada yang kaya dengan gelimang harta  dan banyak yang miskin, hidup menderita, berikanlah kepada kami harta yang banyak dengan berkah sebagai jaminannya, janganlah Engkau silaukan kami dengan kekayaan sehingga melupakan janji dengan-Mu.

Ya Al Qabidh, Allah yang menyempitkan rezeki hamba-Nya, bukan kemiskinan yang ditakuti oleh nabi-Mu terhadap ummat ini ya Allah, mereka mampu mempertahankan  imannya dikala diuji dengan kemiskinan, tapi yang dikhawatirkan oleh nabi-Mu terhadap ummat ini adalah kalau mereka diuji dengan limpahan rezeki dari-Mu sehingga hubbuddunya, terlalu cinta kepada dunia dan takut dengan kematian, Wallahu a’lam [CubadakSolok, 14 JumadilAwal 1432.H/ 18 April 2011.M, Jam 09;40].

Referensi;
1.KuliahTafsir, Faktar IAIN RadenIntan Lampung, 1989
2.Al Qur'an danTerjemahannya, Depag RI, 1994/1995
3.KumpulanCeramahPraktis, Drs.MukhlisDenros, 2009
4.Republika co.id. AsepSobari, MengentaskanKekayaan, 2009



           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar