AL QABIDH
[ Yang Maha Menyempitkan]
Oleh Drs.St.MUKHLIS DENROS
Manusia adalah makhluk Allah yang istimewa
dibandingkan makhluk yang lain, disamping diberi akal sebagai fasilitas juga
tidak sedikit sarana dihamparkan untuk mereka berupa rezeki yang terdapat di
darat dan di laut, semua itu boleh digunakan, diolah untuk kebutuhan manusia.
Demikian pula hubungannya dengan Allah mempunyai hubungan yang istimewa yang
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, ada tiga hubungan manusia dengan Allah yaitu;
Pertama, hubungan hamba dengan Khaliqnya, yaitu sebagai pengabdian
yang mencurahkan seluruh potensi hidupnya hanya untuk menyembah Allah semata;
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.[Adz Dzariyat 51;56]
Bila hubungan ini berjalan
dengan baik, manusia telah memposisikan dirinya dan mengoptimalkan potensinya
hanya untuk ibadah kepada Allah maka manusia akan mendapat balasan yang lebih
dari pengabdiannya itu dari Allah, bila pengabdian ini tidak terujud bahkan
kefasikan yang terjadi maka akan menerima balasan yang setimpal dari Allah,
berupa azab dan kesengsaran lainnya.
Kedua, hubungan bisnis, yaitu hubungan antara penjual dan pembeli,
Allah berperan sebagai pembelinya sedangkan manusia sebagai pedagang,
sebagaimana yang tergambar dalam surat At Taubah 9;111
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu diri dan
harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau dibunuh. Itu telah menjadi janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih
menepati janjinya selain Allah ? Maka bergembiralah dengan jual beli yang
telah kamu lakukan itu, itulah
kemenangan yang besar”
Suatu perniagaan yang luar
bisa untungnya bila manusia mau untuk mengambil peluang bisnis ini, harga
syurga tidaklah dapat dibandingkan dengan segala kesenangan di dunia ini, tarif
yang tinggi ditawarkan Allah kepada hamba-Nya, bila peluang bisnis ini tidak
dimanfaatkan oleh manusia maka merugilah mereka selamanya.
Ketiga, hubungan cinta; yaitu hubungan kasih sayang antara hamba
dengan Khaliqnya. Hubungan ini terujud karena nilai iman yang tinggi dan
pemahaman tauhid yang benar, sehingga seorang mukmin meletakkan posisi cintanya
sesuai dengan prioritas [9;24], bahkan Allah menggambarkan bagaimana seorang
mukmin meletakkan dasar cintanya kepada Allah selain mencintai yang lain.
”Dan diantara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).[Al
Baqarah 2;165]
Kecintaan kepada Allah
akan memperoleh keuntungan yang luar biasa, yaitu berkahnya di dunia dan
syurganya di akherat dengan tidak meninggalkan kecintaan kepada yang lain, kita
boleh mencintai harta, jabatan, isteri, anak dan keturunan selama
memposisikannya di bawah cinta kepada Allah, bila posisi cinta ini sudah salah
maka mendapat julukan orang-orang yang fasiq, nerakalah tempatnya kelak di
akherat.
Keempat; hubungan Allah dengan hamba-Nya dijalin
pula melalui transaksi pinjam meminjam secara simbolik, disini posisi Allah
sebagai peminjam dari harta yang dimiliki hamba-Nya, pinjaman itu berujud
menginfaqkan hartanya di jalan Allah dalam bentuk bantuan kepada manusia
lainnya yang sangat membutuhkan;
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.’[Al Baqarah 2;245]
Bila
transaksi ini tidak terjadi, manusia tidak mau meminjamkan sesuatu miliknya
untuk kepentingan agama Allah atau untuk membantu hamba Allah yang lainnya maka
disinilah peran Allah sebagai Al Qabidh berlaku, yaitu Allah akan menyempitkan
rezeki siapapun yang dikehendaki-Nya.
Di tengahperjalanan yang cukuppanjangdanmelelahkan, Rasulullah saw memutuskanuntukberistirahatsejenak. Ketikasemuaanggotarombonganmulaimengambiltempatuntukmelepaslelahdanmembukaperbekalan, tampakseoranglaki-laki yang sibukhilirmudikdekatbeliau.Dari ataspunggungunta yang terlihatsangatkeletihan, lelakiitumelirikkesana-kemaridenganpandanganmata yang sayu.
Rasulullah saw segeramenangkapbahasatubuhlelakiitu, makadengansuara yang bergemadanpenuhwibawa. Beliauberkatakepadaseluruhsahabatnya, “Siapa yang punyatunggangan (kendaraan) lebih, makaberikanlahkepada orang yang tidakpunyakendaraan. Siapa yang punyaperbekalanlebih, makaberikanlahkepada orang yang tidakpunyaperbekalan.”(HR. Muslim dan Abu Dawud).
Menurut Abu Sa`id al-Khudri, sahabat yang menuturkankisahini, selainduajenisharta di atas, Rasulullahjugamenyebutbeberapajenishartalainnyayang mestidiperlakukansama. Karenabegitubanyakjenisharta yang disebut, sempatterlintasdalambenakparasahabat, bahwaharta yang melebihibataskebutuhantidaklagimenjadihakpemiliknya, melainkanharusdiberikankepada orang yang membutuhkan.
Peristiwatersebutberlalubegitucepat, tapiajaran yang disampaikanRasulullah saw membentukpandanganhidup yang sangatmendalamtentangpersoalan yang senantiasaaktualsepanjangwaktu, yaitukemiskinandankekayaan. Fenomenamiskindan kaya diposisikandalam Islam sebagaipasangan yang salingterkaitdantidakmungkindipisahkan, samasepertisemuawujudciptaan Allah di alamraya.
Dengandemikian, miskindan kaya adalahduaentitas yang tidakmungkinberdirisendiri.Artinya, kemiskinanakanmenjadimasalahjikakekayaan pun bermasalah. Generasiawal Islam memahamibetulhalini, baikdalamkapasitasindividumaupunpemerintah.
Bahkan, jikabolehdibilang, merekamelihatsikapdanperilakumenyimpang orang-orang kaya adalahbiangsebenarnyadarisegaladampakburuk yang timbuldarikemiskinan.Tepatnya, ketika orang kaya tidakpunyapandangan yang benartentangkonsepkekayaandantidakpernahmerasacukupkarenacarakonsumsi yang dipakainyatidaklepasdariisrafatautabdzir.Makaakibatnyaadalah, peredaranhartaterbatashanyapadasegelintir orang kaya (dulatanbainalaghniya’), sementara orang-orang miskintidakmendapatkanbagian yang cukupuntuksekedarmengisiperutnya.
Dalam as-Sunan al-Kubra, al-Baihaqimenuturkanpernyataantegas Ali bin AbiThalibra, “Allah telahmewajibakankepada orang-orang kaya agar memberikanhartanyasebanyak yang dapatmencukupikebutuhan orang-orang miskin. Karenaitu, jika orang-orang miskinitukelaparan, tidakberpakaiandanmenderita, makapenyebabnyaadalah orang-orang kaya ituengganmemberi.Allah pastiakanmenghisabdanmengazabmerekakarenasikapnyaitu.”[Republika co.id.AsepSobari, MengentaskanKekayaanKamis, 30 Juli 2009 11:52]
Sebuah pepatah mengatakan bahwa tidak akan menuai
bagi orang yang tidak pernah menyemai artinya tidak ada yang dapat diharapakan
dari orang yang tidak berbuat apa-apa.
Sedangkan Rasulullah
bersabda bahwa orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi masyarakat
sekelilingnya, baik tenaga, ilmu atau hartanya dimanfaatkan di masyarakat
sehingga hidupnya berfungsi sosial.
Diri, ilmu, harta dan apa
saja yang dapat dimanfaatkan di tengah masyarakat adalah kebaikan didunia juga
mendapat imbalan di akherat, kedua kepentingan ini tidak boleh dipentingkan
salah satunya saja, karena keduanya perlu dan dibutuhkan manusia beriman,
Rasulullah bersabda, ”Bukan sebaik-baik
kamu orang yang meninggalkan dunianya untuk mengejar akheratnya dan meninggalkan
akheratnya untuk mengejar dunia, sehingga memperoleh kedua-duanya sekaligus,
karena sesungguhnya dunia ini merupakan alat ke akherat dan janganlah kamu
menjadi beban atas orang lain”.
Dunia adalah tempat untuk
bertanam kebaikan, menambah amal ibadah serta memupuk pahala sebagai bekal
menuju akherat. Memang kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sementara
apabila dibandingkan dengan kehidupan akherat yang abadi. Namun dengan keras
diingatkan agar kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan alasan untuk hidup
dengan laku penuh penyesalan, jangan dijadikan penantian dengan mental yang
senantiasa was-was dan was-was. Sema sekali tidak dibenarkan untuk mengartikan
sebuah ungkapan bahwa dunia ini adalah ”bangkai” dan barangsiapa yang berlaku
asyik dengannya sama dengan anjing dengan pengertian yang harfiah. Allah memperingatkan
dalam Al Qashash 28;77 ;
”Carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu untuk kehidupan abadi kampung akherat namun
janganlah sekali-kali kamu melalaikan bahagianmu dari kenikmatan hidup di dunia
ini...”
secara awam ayat tersebut diartikan:
- Allah telah berkenan memberi anugerah yang banyak, nah terimalah dan nikmatilah anugerah itu dengan pengertian janganlah lupa diri bahwa kita bakal mati.
- Kehidupan yang lebih baik dan kekal adalah kehidupan di akherat. Berbuatlah untuk mencapai akherat itu dengan penuh kesungguhan namun tidak berarti manusia harus membelakangi kenyataan hidup di dunia ini.
Dalam kesementaraan
hidupnya di dunia ini manusia harus
benar-benar tahu diri, kapan harus berbuat, kapan harus menikmati hasil
perbuatannya. Kapan harus bertahan dan kapan harus bergerak. Mana yang harus
didahulukan dan mana yang harus ditangguhkan. Mana yang wajib dan mana yang
haram, semua petunjuknya ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Bila ajaran ini telah
tertanam akan melahirkan ummat islam yang tangguh, penuh pendirian dan siap
menghadapi kehidupan dengan segala senang hati karena dibawah pimpinan Allah
sebagai mana firman-Nya dalam surat Al Ankabut 29;69
”Dan
orang-orang yang berjihad untuk mencari
keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tuntukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Dari ayat tersebut
jelaslah bahwa kebahagiaan itu baru akan dicapai manusia, apabila mereka telah
beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya kesungguhan di dalam segala
bidangnya. Ummat islam atau orang-orang beriman dewasa ini, belum mencapai
kebahagiaan itu karena mereka belum lagi melaksanakan ibadah dengan
sebenar-benarnya kesungguhan di dalam segala bidangnya.
Mungkin mereka sewaktu
dalam masjid, sewaktu melaksanakan shalat, mereka telah sebenar-benarnya
sungguh-sungguh, tetapi apabila mereka telah masuk ke dalam masyarakat atau perdagangan,
mereka belum sungguh-sungguh secara islam. Mereka masih dipengaruhi oleh
cara-cara komunis dan kapitalis, yang membolehkan memakai segala macam cara
untuk mencapai tujuan atau supaya tidak dicap ketinggalan zaman. Bahkan ada
yang berkeyakinan dan berpropaganda ajaran buatan manusia lebih ampuh atau
sakti dari ajaran buatan Allah.
Untuk itu manusia harus
berpedoman kepada ajaran Allah dengan tetap membawa imannya kemanapun pergi,
bukan dikatakan beriman hanya dimasjid saja lalu selepas dari itu, iman dan
amalnya tidak terkontrol. Landasan amal yang akan diberi ganjaran oleh Allah
yaitu hanya mengharapkan ridha Allah bukan karena yang lain, kalau landasan ini
dijadikan sebagai acuan dalam berbuat maka tak satupun kebaikan yang
dikeluarkan akan luput dari balasan pahala dari Allah sebagaimana dua surat
dibawah ini Allah berfirman dalam surat Zalzalah 99;7-8, ;
”Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrahpun niscaya dia akan melihat
balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun,
niscaya dia akan melihat balasannya pula”.
Surat An Nisa’ 4;40,;
”Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar zarrah niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan
dari sisi-Nya pahala yang besar”.
Selama hayat masih
dikandung badan selama itu pula manusia dituntut berbuat kebaikan dan amal shaleh, menjalin empat
hubungan yang baik dengan Allah, serta
menyemai bibit agar dapat menuai buah pahalanya kelak di hadapan Allah sehingga
hidupnya di dunia bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain atas usaha,
kerja dan amal ibadah yang dilakukan, semua itu akan dibalas tunai oleh Allah
di dunia ini sebelum balasan di akherat;
”Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman:
"Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang
Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum
datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan’[Ibrahim 14;31].
Ya
Al Qabidh, Allah yang menyempitkan rezeki hamba-Nya, Dia pula yang melapangkan
rezeki hamba-Nya dari nikmat yang tidak diduga-duga. Engkau berhak dan kuasa
menentukan nasib makhluk-Mu, ada yang kaya dengan gelimang harta dan banyak yang miskin, hidup menderita, berikanlah
kepada kami harta yang banyak dengan berkah sebagai jaminannya, janganlah
Engkau silaukan kami dengan kekayaan sehingga melupakan janji dengan-Mu.
Ya Al Qabidh, Allah yang menyempitkan
rezeki hamba-Nya, bukan kemiskinan yang ditakuti oleh nabi-Mu terhadap ummat
ini ya Allah, mereka mampu mempertahankan imannya dikala diuji dengan kemiskinan, tapi
yang dikhawatirkan oleh nabi-Mu terhadap ummat ini adalah kalau mereka diuji
dengan limpahan rezeki dari-Mu sehingga hubbuddunya, terlalu cinta kepada dunia
dan takut dengan kematian, Wallahu a’lam [CubadakSolok, 14 JumadilAwal
1432.H/ 18 April 2011.M, Jam 09;40].
Referensi;
1.KuliahTafsir,
Faktar IAIN RadenIntan Lampung, 1989
2.Al
Qur'an danTerjemahannya, Depag RI, 1994/1995
3.KumpulanCeramahPraktis,
Drs.MukhlisDenros, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar